ABSTRACT
Tindak pidana pemalsuan surat diatur dalam BAB XII
Buku II KUHP tentang pemalsuan surat, buku tersebut mencantumkan bahwa yang
termasuk pemalsuan hanyalah berupa tulisan-tulisan saja, termasuk didalamnya
pemalsuan surat yang diatur dalam Pasal 263
ayat (1) KUHPidana yang berbunyi “ Barang
siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu
hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti
dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain
memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika
pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan
pidana penjara paling lama enam tahun.
Adapun yang menjadi tujuan
penelitian ini antara lain : Pertama,
untuk mengetahui proses penyidikan dalam mengungkap tindak pidana pemalsuan
Surat Akta Jual Beli Tanah di wilayah Polisi Resor Kota Pekanbaru, Kedua, untuk mengetahui hambatan
penyidik dalam mengatasi Tindak Pidana pemalsuan surat Akta Jual Beli Tanah di
wilayah Polisi Resor Kota Pekanbaru, Ketiga,
untuk mengetahui upaya penyidik dalam mengatasi Tindak Pidana pemalsuan surat
Akta Jual Beli Tanah di wilayah Polisi Resor Kota Pekanbaru.
Penelitian ini adalah penelitian
hukum sosiologis yaitu penelitian yang hendak melihat antara kolerasi antar
hukum dan masyarakat. Penelitian ini dilakukan di Polisi Resor Kota Pekanbaru,
baik populasi dan sampel juga dilakukan di Polisi Resor
Kota Pekanbaru. Dalam penelitian ini sumber
data yang digunakan, data primer dan data sekunder, teknik pengumpul data
dalam penelitian ini dengan wawancara,
dan kajian kepustakaan.
Dari hasil penelitian masalah ada
tiga hal pokok yang dapat disimpulkan Pertama, pelaksanaan
penyidikan dalam mengungkap tindak pidana pemalsuan Akta Jual Beli Tanah di
wilayah Polisi Resor Kota Pekanbaru, Kedua, hambatan penyidik dalam mengatasi
tindak pidana pemalsuan Surat Akta Jual Beli Tanah di wilayah Polisi Resor Kota
Pekanbaru, Ketiga, upaya penyidik
dalam mengatasi tindak pidana pemalsuan surat Akta Jual Beli Tanah di wilayah
Polisi Resor Kota Pekanbaru. Saran
Penulis, Pertama, kegiatan pelaksaan penyidikan Kepolisian Resor Kota
Pekanbaru harus lebih ditingkatkan agar proses penyidikan dapat dilakukan
dengan cepat dilakukan, Kedua, seharusnya
pihak Kepolisian Resor Kota Pekanbaru harus bekerjasama dengan pihak yang
bersangkutan seperti Badan Pertanahan Nasional Kota Pekanbaru dan penyidik
harus lebih tegas dalam menangani
pemalsuan tindak pidana Akta Jual Beli Tanah, Ketiga, seharusnya jenis surat harus dikurangi, karena banyaknya
jenis surat tanah pada saat ini akan mempermudah pelaku untuk merekayasa surat
tanah tersebut.
Kata Kunci : Tindak
Pidana dan Pemalsuan - Penyidikan
A.
Latarbelakang
Masalah.
Dalam memenuhi kebutuhan hidup, tindak kriminal
semakin marak terjadi. Hal tersebut tidak lepas dari berbagai aspek-aspek
sosial, lingkungan, dan aspek lainnya khususnya pada aspek ekonomi sehingga
tidak menutup kemungkinan modus pelaku tindak kriminal itu sendiri semakin
berkembang, baik itu dari segi pemikiran (modus) maupun dari segi teknologi. Dalam
hukum di Indonesia pemalsuan surat merupakan salah satu bentuk tindak pidana
yang telah diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP).
Tindak
pidana pemalsuan surat diatur dalam BAB XII Buku II KUHP tentang pemalsuan
surat, buku tersebut mencantumkan bahwa yang termasuk pemalsuan hanyalah berupa
tulisan-tulisan saja, termasuk didalamnya pemalsuan surat yang diatur dalam
Pasal 263 ayat (1) KUHPidana Dikaitkan dengan Pasal 385 ayat
(1) KUHPidanna yang berbunyi Diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun:
barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan creditverband sesuatu hak tanah yang
telah bersertifikat, sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan di
atas tanah yang belum bersertifikat, padahal diketahui bahwa yang mempunyai
atau turut mempunyai hak di atasnya adalah orang lain. ”
Seperti data yang penulis dapat dari
hasil wawancara dengan penyidik Polresta Pekanbaru Bapak Bripka Santo Morlando
SH., MH, yang mengatakan bahwa Tindak pidana pemalsuan surat tanah yang sering
terjadi di daerah Kota Pekanbaru yaitu Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR), Akta
Jual Beli (AJB), Surat Keterangan Tanah (SKT), dan Sertifikat Tanah, yang telah
masuk dalam proses penyidikan oleh pihak Kepolisian Resor Kota Pekanbaru.
Menurut
penyidik pelaku dijatuhkan atau dikenakan sanksi Pidana Pemalsuan surat Pasal
263 Ayat (1) KUHP “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang
dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai
atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan
tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian,
karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.” Alasan
penyidik menggunakan pasal tersebut di karenakan pelaku murni membuat dan
memalsukan surat tersebut tanpa ada campur tangan oleh pihak atau pejabat yang
berwenang, seperti pejabat PPAT.[1]
Berdasarkan latar belakang di atas maka
penulis, berinisiatif untuk meneliti lebih lanjut mengenai pemalsuan akta jual
beli tanah di wilayah Pekanbaru dengan judul “ Penyidikan Tindak Pidana Pemalsuan Surat Akta Jual Beli Tanah di Wilayah
Polisi Resor Kota Pekanbaru “ .
B.
Rumusan Masalah.
Berdasarkan
uraikan latar belakang di atas maka penulis, merumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1.
Bagaimanakah
penyidik dalam mengungkap tindak pidana Pemalsuan Akta Jual Beli Tanah di
Wilayah Polisi Resor Kota Pekanbaru ?
2.
Bagaimana
hambatan penyidik dalam mengatasi Tindak Pidana Pemalsuan Surat Akta Jual Beli
Tanah di Wilayah Polisi Resor Kota Pekanbaru ?
3.
Bagaimana
upaya penyidik dalam mengatasi Tindak Pidana Pemalsuan Surat Akta Jual Beli
Tanah di Wilayah Polisi Resor Kota Pekanbaru ?
C.
Tujuan dan
Kegunaan Penelitian.
1.
Tujuan
Penelitian.
a.
Untuk
mengetahui proses penyidikan dalam mengungkap tindak pidana pemalsuan Surat
Akta Jual Beli Tanah di Wilayah Polisi Resor Kota Pekanbaru.
b.
Untuk
mengetahui hambatan penyidik dalam mengatasi Tindak Pidana Pemalsuan Surat Akta
Jual Beli Tanah di Wilayah Polisi Resor Kota Pekanbaru.
c.
Untuk
mengetahui upaya penyidik dalam mengatasi Tindak Pidana Pemalsuan Surat Akta
Jual Beli Tanah di Wilayah Polisi Resor Kota Pekanbaru.
2.
Kegunaan
Penelitian.
a.
Penelitian
ini diharapkan bermanfaat untuk pengembangan ilmu hukum secara umum dan
perkembangan hukum pidana secara khusus, terutama untuk mengetahui bagaimanakah
penyidikan tindak pidana pemalsuan surat akta jual beli tanah di wilayah Polisi
Resor Kota Pekanbaru ;
b.
Untuk
menambah ilmu penulis dapat selama menjalani pendidikann di Fakultas Hukum
Universitas Riau ;
c.
Untuk
memberikan penambahan ilmu dan bahan bacaan kepada mahasiswa/i mengenai
penyidikan tindak pidana pemalsuan surat akta jual beli tanah tanah di wilayah Polisi Resor Kota Pekanbaru
;
d.
Untuk
memberikan pengatahuan umum kepada masyarakat mengenai kerugian dari pada
pemalsuan surat akta jual beli tanah.
D.
Kerangka Teori.
I. Teori Tindak Pidana
Tindak
pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut.[2] Menurut
Moeljatno, bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana, terhadap barang siapa yang melanggar tersebut. Perbuatan itu
harus pula dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang
dicita-citakan oleh masyarakat.[3]
Untuk
itu diperlukan dua syarat, yaitu perbuatan itu bersifat melawan hukum dan dapat
dicela.[4] Dan dalam hukum
pidana berfungsi sebagai ultimum remedium (sarana terakhir) ketika sarana
lainnya berupa primum remedium, dan remedium tidak lagi dapat ditegakkan.[5]
Tetapi
sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan, yaitu mengenai
perbuatan pidananya sendiri, mengenai criminalact,
juga ada dasar yang pokok, yaitu asas legalitas (principle of legality), asas yang menentukan bahwa tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan
terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya di kenal dalam bahasa latin
sebagai Nullum delictum nulla poena sine
praevia leg (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu).[6]
Hukum
pidana mempunyai sifat istimewah, yaitu pada saat pelaksanaan hukum pidana
justru terjadi perampasan hak terhadap seseorang yang telah melanggar hukum.
Penjatuhan pidana harus sebagai ultimum remedium, maksudnya penjatuhan pidana
atau penerapan hukum pidana merupakan jalan terakhir apabila sanksi atau upaya-upaya
pada cabang hukum lainnya tidak dapat menyelesaikan suatu permasalahan.[7]
2. Teori
Penyidikan
Dalam
bahasa Belanda penyidikan sama dengan opsporing.
Menurut De Pinto, menyidik (opsporing) berarti
pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh undang-undang
segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar
beralasan, bahwa ada terjadi suatu pelanggaran.[8]
Pengertian
penyidik diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang terdapat
dalam Pasal 1 butir 1 yang berbunyi “Penyidik adalah pejabat polisi Negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.
Tugas
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik POLRI (Polisi Republik Indonesia)
adalah merupakan penyidik tunggal bagi tindak pidana umum, tugasnya sebagai
penyidik sangat sulit dan membutuhkan tanggung jawab besar, karena penyidikan
merupakan tahap awal dari rangkaian proses penyelesaian perkara pidana yang
artinya akan berpengaruh bagi tahap proses peradilan selanjutnya.[9]
Sedangkan
pada Pasal 1 butir 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan
mengenai pengertian penyidikan yang berbunyi “Penyidikan adalah serangkaian
tindak penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti ini membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Seorang
pejabat kepolisian yang diberi jabatan sebagai penyidik harus memenuhi syarat
kepangkatan sebagaimana hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Syarat kepangkatan tersebut akan
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang
mengatur masalah kepangkatan pejabat penyidik yaitu Peraturan Pemerintah Nomor
58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat penyidik kepolisian terdiri dari :[10]
a.
Penyidik
Penuh untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik penuh kepolisian Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud didalam Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2010, Pasal 2 huruf a menerangan bahwa penyidik harus memenuhi persyaratan
:
b.
Berpangkat
paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah Sarjana
Strata Satu atau yang setara;
c.
Bertugas
dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) Tahun;
d.
Mengikuti
dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi Reserse Kriminal;
e.
Sehat
jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;
f.
Memiliki
kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
Penyidik
diangkat oleh kepala kepolisian Negara Republik Indonesia. Wewenang
pengangkatan dapat dilimpahkan kepada pejabat kepolisian Negara Republik
Indonesia yan ditunjuk oleh kepala kepolisian Negara Republik Indonesia.
Seperti Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:[11]
1.
Berpangkat
paling rendah brigadir dua polisi;
2.
Mengikuti
dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi Reserse Kriminal;
3.
Bertugas
dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
4.
Sehat
jasmani rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;
5.
Memiliki
kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
Penyidik
pembantu diangkat oleh kepala kepolisian Negara Republik Indonesia atas usul
komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing. Wewenang pengangkatan dapat
dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditunjuk
oleh kepala Kepolisian Negara Indonesia.
3. Teori
Penegakan Hukum
Penegakan
hukum merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Perkataan
penegakan hukum mempunyai konotasi menegakkan, melaksanakan ketentuan di dalam
masyarakat, sehingga dalam konteks yang lebih luas penegakan hukum merupakan
suatu proses berlangsungnya perwujudan konsep-konsep yang abstrak menjadi
kenyataan. Dalam hukum pidana, menegakkan hukum sebagaimana dikemukakan oleh
Kadri Husin adalah suatu sistem pengendalian kejahatan yang dilakukan oleh
lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.[12]
Penegakan
hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang
menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaedah-kaedah
hukum, tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.[13]
Secara
konsepsional, makna inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang menjabarkan isi dalam kaidah-kaidah
yang mantap dan sikap tidak sebagai
rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.[14].
Oleh
karena itu dapatlah dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata
berarti pelaksanan undang-undang, walaupun dalam kenyataan di Indonesia
kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer.[15]
Kaidah
atau norma adalah ketentuan-ketentuan tentang baik buruk perilaku manusia di
tengah pergaulan hidupnya, dengan menentukan perangkat-perangkat aturan yang
bersifat perintah dan anjuran serta larangan-larangan.
Kaidah-kaidah
tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau sikap tidak
yang dianggap pantas, oleh yang seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebut
bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian.
Masalah
pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga
dampak positif atau negative nya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
Faktor-faktor tersebut sebagai berikut:[16]
1)
Faktor
hukumannya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang
saja.
2)
Faktor
penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.
3)
Faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4)
Faktor
masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan.
5)
Faktor
kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima
faktor tersebut saling berkaitan, karena merupakan esensi dari penegakan hukum,
juga merupakan tolak ukur dari pada efektifitas penegakan hukum. Dalam praktek
penyelenggaraan penegakan hukum di lapangan pada kalanya terjadi pertentangan
antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan
merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan
suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Suatu kebijakan atau
tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat
dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan
hukum.[17]
Menurut
J.E. Sahetapi, dalam rangka penegakan hukum dan impementasi penegakan hukum
bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan
kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa
kejujuran adalah suatu kemunafikkan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap
lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus
dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan.[18]
Penegakan
hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam
masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai
kesadaran hukum. Kesadaran hukum yang rendah atau tinggi pada masyarakat akan
mempengaruhi pelaksanan hukum. Kesadaran hukum yang rendah akan menjadi kendala
dalam pelaksanan hukum, baik berupa tingginya pelanggaran hukum maupun kurang
partisipasi masyarakat dalam pelaksanan hukum.[19]
Menurut
Soejorno Soekanto, kesadaran hukum yang tinggi mengakibatkan warga masyarakat
mematuhi ketentuan hukum yang berlaku. Sebaliknya, apabila kesadaran hukum
sangat rendah, maka derajat kepatuhan terhadap hukum juga tidak tinggi. Jadi sangatlah dibutuhkan penegakan hukum yang
memiliki kualitas baik agar dapaat menegakkan hukum dengan adil ditengah
masyarakat dan terciptanya budaya masyarakat yang patuh pada hukum.
E.
Kerangka
Konseptual.
Penelitian
ini menggunakan sejumlah konsep hukum, Untuk menghindari terjadinya kesalahan
mengenai konsep hukum yang digunakan dalam penelitian ini, penulis memandang
perlu untuk menjelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam penulisan, yaitu:
1.
Penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.[20]
2.
Tindak
pidana adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menimbulkan
peristiwa pidana atau perbuatan yang melanggar hukum pidana dan diancam dengan
hukuman.[21]
3.
Pemalsuan
adalah upaya atau tindakan memalsukan surat dengan membuat bentuk dan
penandatanganan yang serupa dengan aslinya.[22]
4.
Surat
adalah sarana komunikasi untuk menyampaikan informasi tertulis oleh suatu pihak
kepada pihal lain.[23]
5.
Akta
adalah surat keterangan atau pengakuan yang disaksikan atau disahkan oleh salah
satu badan pemerintah seperti notaris.[24]
6.
Tanah
adalah bagian yang terdapat pada kerak bumi yang
tersusun atas mineral dan bahan organik.[25]
F.
Metode
Penelitian.
I. Jenis Penelitian.
Penelitian ini
adalah penelitian hukum sosiologis yaitu penelitian yang hendak melihat antara
kolerasi antar hukum dan masyarakat, sehingga mampu mengungkapkan efektifitas
berlakunya hukum dalam masyarakat dan mengindentifikasi hukum yang tidak tertulis yang berlaku pada
masyarakat, jadi pada penelitian sosiologis ini yang diteliti pada awalnya
ialah data sekunder yang kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data
primer dilapangan atau terhadap masyarakat.[26] Peneitian ini
bersifat deskriptif yaitu penulis mencoba untuk memberikan gambaran dari suatu
kenyataan secara lengkap, rinci, dan jelas mengenai penegakan hukum terhadap
tindak pidana pemalsuan surat akta jual beli tanah.
II.
Lokasi
Penelitian.
Lokasi
penelitian yang penulis ambil adalah di wilayah hukum Polisi Resor Kota
Pekanbaru. Alasan penulis melakukan penelitian di Lokasi tersebut adalah karena
di wilayah hukum ini ada terjadi kasus tindak pidana pemalsuan surat akta jual
beli tanah.
III. Populasi dan Sampel.
a.
Populasi
Populasi adalah
keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri-ciri yang sama. Populasi dapat
berupa orang, benda ( hidup atau mati ), kejadian, kasus-kasus, waktu, atau
tempat dengan sifat dan ciri yang sama.[27] Adapun yang
dijadikan populasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1)
Penyidik
Polisi Resor Kota Pekanbaru;
2)
Pelaku;
3)
Korban.
b.
Sampel
Untuk
memudahkan penulis dalam melakukan penelitian maka penulis menentukan sampel
dimana sampel adalah merupakan himpunan atau sebagian populasi yang dijadikan
objek penelitian yang dianggap dapat mewakili keseluruhan populasi. Dalam
menentukan sampel penulis menggunakan teknik purposive sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan kriteria
masalah yang diteliti, tidak semua populasi dijadikan jadi sampel.
IV. Sumber Data.
Berdasarkan
metode penelitian sosiologis maka alat pengumpulan data dalam penelitian adalah
:
a)
Data Primer
Data primer
adalah data yang diperoleh langsung oleh peneliti dengan mengumpulkan data,
instrumen penelitian dengan wawancara dan kuisioner dengan para pihak yang ada
hubungannya dengan permasalahan yang penulis teliti.
b)
Data Sekunder
Data sekunder
adalah data yang diperoleh peneliti dari berbagai studi kepustakaan serta
peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur serta pendapat para ahli yang
berkaitan dengan permasalahan penelitian ini, yang terdiri dari:
1.
Bahan
hukum primer yaitu Undang-Undang yang berhubungan dengan penelitian antara lain
Undang-Undang Dasar Indonesia tahun 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Undang-Undang Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 58 tentang Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
2.
Bahan
hukum sekunder yaitu buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan hukum yang
akan penulis teliti.
3.
Bahan
hukum tersier yaitu hukum yang menggunakan kamus atau ensiklopedi. Dalam penelitian
ini peneliti menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
5.
Teknik
Pengumpulan Data.
Dalam
usaha mengumpulkan data ada beberapa tahap yang harus dilakukan, antara lain
yaitu:
a)
Wawancara
yaitu pengumpulan data yang dilakukan penelitian dengan cara memberikan
pertanyaan kepada responden, dalam hal ini dengan Penyidik Polisi Resor Kota
Pekanbaru, Pelaku, dan Korban.
b)
Kajian
kepustakaan yaitu penulis mengambil kutipan dari buku bacaan, literatur, atau
buku pendukung yang memiliki kaitan dengan permasalahan yang akan di teliti.
6.
Analisis Data.
Data yang
diperoleh baik dari hasil wawancara dan studi kepustakaan akan dianalisis
dengan metode kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan penelitian yang
menghasilkan data deskriptif yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara
tertulis ataupun lisan dan perilaku nyata. Dari pembahasan tersebut, akan
menarik kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan.
II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.
A. Pelaksanaan Penyidikan Dalam Mengungkap
Tindak Pidana Pemalsuan Akta Jual Beli Tanah Di Wilayah Polisi Resor Kota Pekanbaru.
Dalam penelitian
ini penulis terfokus pada penelitian yang dilakukan oleh kepolisian, karena
dalam bidang hukum pidana polisi merupakan aparat penegak hukum yang sering
berhadapan dengan masyarakat dalam kaitannya dengan penegak hukum dan polisilah
yang melaksanakan tugas dalam mengambil keputusan-keputusan secara nyata
dilapangan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika polisi dikonotasikan
sebagai hukum yang hidup karena ditangan merekalah hukum mengalami perwujudkan
sehari-hari.
Penyidikan
menurut Pasal 1 butir 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi guna
menemukan tersangkanya. Dalam pelaksanaan penyidikan, penyidikan memiliki
kewajiban berdasarkan Pasal 7 KUHAP.
Sampai saat ini
tindak pidana terhadap hak atas tanah masih cukup tinggi, khususnya tindak
pidana pemalsuan Surat Akta Jual Beli Tanah yang ditangani Kepolisian Resor
Kota Pekanbaru, dan kasus tindak pidana ini banyak merugikan orang lain yang
surat akta jual beli tanah dipalsukan. Berdasarkan hasil wawancara penulis
dengan Bapak Santo Morlando, SH.,MH selaku Kasat Reskrim bahwa Kepolisian Resor
Kota Pekanbaru telah berusaha semaksimal mungkin untuk penegakan hukum secara
represif terhadap kasus tindak pidana pemalsua surat akta jual beli tanah di
daerah Kota Pekanbaru.[28]
Selama tahun 2015
terdapat 13 kasus mengenai Tindak Pidana Pemalsuan Surat Tanah di Daerah Kota
Pekanbaru, yaitu pemalsuan Surat Keterangan Ganti Surat 4 kasus sampai tahap SP
3, pemalsuan Akta Jual Beli Tanah ada 7 kasus sampai tahap P21 ada 1 kasus dan
6 kasus lainnya sampai tahap SP 3, pemalsuan Surat Keterangan Tanah ada 1 kasus
sampai tahap SP 3, dan pemalsuan Sertifikat Tanah 1 kasus sampai tahap SP 3.
Berdasarkan data di atas yang masuk tahap P21 yaitu kasus pemalsuan surat Akta
Jual Beli Tanah yaitu milik Mariana 58 dan kasus pemalsuan surat tanah yang
lainnya tidak ada yang masuk dalam tahap P21 (penyidikan tidak selesai) atau
kasus masih tahap penyidikan.
B. Hambatan penyidik dalam mengatasi Tindak Pidana
Pemalsuan Surat Akta Jual Beli Tanah di Wilayah Polisi Resor Kota Pekanbaru.
Dalam pelaksanaan penyidikan kasus
tindak pemalsuan surat Akta Jual Beli Tanah pihak Kepolisian Resor Kota
Pekanbaru mengalami bebrapa hamtaban yang mengakibatkan usaha dalam penegakan
hukum tindak pidana pemalsuan surat Akta Jual Beli Tanah tersebut tidak
berjalan lancar atau terhambat. Sehingga banyak kasus tindak pidana surat
Pemalsuan Akta Jual Beli Tanah yang tidak dapat diproses sampai ketahap P21.
Faktor yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana
pemalsuan surat Akta Jual Beli Tanah yang menyebabkan sulitnnya terselesaikan
kasus pemalsuan surat Akta Jual Beli Tanah yaitu ada faktor internal dan faktor
eksternal.
a)
Faktor
Internal.
1)
Personil
Penyidik Kepolisian yang terbatas
2)
Minimnya
sarana dan fasilitas
3)
Kurang
ahlinya polisi dalam menangani kasus tindak pidana pemalsuan surat Akta Jual
Beli Tanah.
b)
Faktor
eksternal
1)
Kesulitan
dalam menemukan surat pembanding.
2)
Kesulitan
dalam memanggil saksi.
C.
Upaya penyidik
dalam mengatasi tindak pidana pemalsuan surat Akta Jual Beli Tanah di wilayah
Polisi Resor Kota Pekanbaru.
Adapun upaya yang dilakukan oleh
Kepolisian Resor Kota Pekanbaru untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam
pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana pemalsuan surat Akta Jual Beli
Tanah, dalam hambatan faktor internal adalah pada dasarnya berkenaan dengan
kondisi dalam tubuh Kepolisian Resor Kota Pekanbaru, faktor-faktor tersebut
diantaranya adalah:
1.
Menambah
jumlah personil tim penyidikan Kepolisian Resor Kota Pekanbaru.
2.
Penambahan
fasilitas maupun sarana seperti mobil patroli dan kendaraan bermotor milik
Kepolisian Resor Kota Pekanbaru.
3.
Penambahan
fasilitas maupun sarana seperti mobil patroli dan kendaraan bermotor milik
Kepolisian Resor Kota Pekanbaru.
Sedangkan dari
faktor eksternal upaya yang dilakukan oleh Kepolisian Resor Kota Pekanbaru
yaitu:
1.
Melakukan
hubungan koordinasi antara Pihak Kepolisian Resor Kota Pekanbaru dengan Badan
Pertanahan Nasional Kota Pekanbaru.
2.
Melakukan
pencarian ahli waris dan mengunjungi domisili tempat tinggal saksi.
III. PENUTUP
A.
Kesimpulan.
1.
Pelaksanaan
penyidikan tindak pidana pemalsuan surat Akta Jual Beli Tanah oleh kepolisian
di wilayah hukum Polisi Resor Kota Pekanbaru yang dilakukan mulai dari
penangkapan, penahanan, penyitaan, pengumpulan alat bukti, pemeriksaan
tersangka, dan pemberkasan yang dilakukan oleh Kepolisian Resor Kota Pekanbaru
terhadap tindak pidana pemalsuan Akta Jual Beli Tanah belum terlaksana
sebagaimana yang diharapkan.
2.
Faktor
penghambat dalam pelaksaaan penyidikan tindak pidana pemasuan surat Akta Jual
Beli Tanah yaitu faktor internal yang meliputi personil penyidik kepolisian
yang terbatas, minimnya sarana dan fasilitas yang dimiliki oleh kepolisian, dan
kurang ahlinya polisi dalam menangani kasus tinda pidana pemalsuan surat Akta
Jual Beli Tanah. Sedangkan faktor eksternal yaitu meliputi kesulitan dalam
menemukan surat pembanding dan kesulitan dalam memanggil saksi.
3.
Upaya untuk mengatasi hambatan yaitu upaya dalam
mengatasi faktor internal yaitu dengan menambah personil penyidik Kepolisian
Resor Kota Pekanbaru terkhususnya menangani tindak pidana pemalsuan surat Akta
Jual Beli Tanah, menambah jumlah kendaraan seperti mobil patroli dan kendaraan
bermotor, dan memberikan pelatihan khusus mengenai pelaksaan penyidikan tindak
pidana pemalsuan surat Akta Jual Beli Tanah. Upaya untuk mengatasi faktor
eksternal yaitu meminta pihak Badan Pertanahan Nasional Kota Pekanbaru untuk
memberikan surat pembanding sebagai barang bukti untuk melakukan pembandingan,
dan memanggil serta menjemput saksi ke tempat domisili saksi tersebut.
B.
Saran.
1.
Kegiatan
pelaksaan penyidikan Kepolisian Resor Kota Pekanbaru harus lebih ditingkatkan
terhadap kasus tindak pidana pemalsuan surat Akta Jual Beli Tanah ini, agar
dari proses penangkapan, penyitaan, pencarian barang bukti, maupun alat bukti,
pemeriksaan tersangka dan pemberkasan tindak pidana pemalsuan surat Akta Jual
Beli Tanah dapat dengan cepat dilaksanakan.
2.
Seharusnya
pihak Kepolisian Resor Kota Pekanbaru dan pihak Badan Pertanahan Nasional Kota
Pekanbaru melakukan koordinasi yang lebih tinggi lagi dalam pelaksanaan
penyidikan tindak pidana pemalsuan surat Akta Jual Beli Tanah. Pihak kepolisian
harus lebih tegas lagi dalam menangani tindak pidana pemalsuan surat Akta Jual
Beli Tanah, karena jika kasus tindak pidana pemalsuan surat tersebut tidak
dapat dilanjutkan sampai tahap P21 atau kasus tersebut hanya ditutup maka para
pelaku tindak pidana pemasuan surat Akta Jual Beli Tanah tersebut akan merajalela
dan kepercayaan masyarakat pun akan hilang kepada pihak kepolisian.
3.
Seharusnya
jenis surat harus dikurangi, karena banyaknya jenis surat tanah pada saat ini
akan mempermudah pelaku untuk merekayasa surat tanah tersebut. Dan pihak
kepolisian sulit melakukan pelaksanaan penyidikan karena proses pembuktiannya
harus dengan melihat surat awal dari kepemilikan atas tanah yaitu mulai dari
Surat Tebas Tebang sampai pada surat Sertifikat Hak Milik.
4.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Buku
Adang dan Anwar
Yesmil, 2009, Sistem Peradilan Pidana, Widya Padjajaran, Bandung.
Afnil Guza, 2005, KUHP
dan KUHAP, Jakarta, Asa Mandiri.
Dwiyatmi Haryani
Sri, 2006, Pengantar Hukum Indonesia, Ghalia indonesia, Ciawi-Bogor.
Faisal Salam Moch, 2005, Hukum Acara Peradilan Anak Di
Indonesia, , Bandung, CV. Mandar
Maju
Erdianto, 2010, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Alaf Riau, Pekanbaru.
Hamzah, Andi,
2001, Hukum Acara Pidana
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Hartanto, Andy,
2013, Hukum Pertanahan Karakteristik Jual Beli
Tanah Yang Belum Terdaftar Hak Atas Tanahnya, laks Bang Justitia, Surabaya.
Hartanti Evi, 2007, Tindak
Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika.
Hartono, 2010, Penyidikan Dan Penegakan Hukum Pidana, Jakarta,
Sinar Grafika.
Husin, Sukanda,
2008, Kapan Hukum Pidana Sebagai Ultimum Remedium, Ekspress, Padang.
Hutagalung, S.
Arie, 2000, Penerapan Lembaga
Rechtsverweking untuk Mengatasi Kelemahan Sistem Publikasi Negatif Dalam Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung.
Ishaq, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Kajadi. M, 1981,Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Lengkap
Disertai Lampiran-Lampiran Yang Berkaitan Dengan Acara Pidana Di Indonesia, Politela,
Bogor.
Marpaung Laden, 2005, Asas
Teori Praktek Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika.
Masriari, Tiena,
Yesmil, 2009, Sistem Peradilan Pidana, Widya Padjajaran, Bandung.
Moeljatno, 2002,
Asas-Asas Hukum Pidana, PT.Rineka Cipta, Jakarta.
Parlindungan,
A.P, 2009, Pendaftaran Tanah di Indonesia,
Cetakan II, Mandar
Maju, Bandung.
Poerwadarminta,
W.J.S, 2003, Kamus Umum Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga, PN Balai Pustaka, Jakarta.
Prasetyo Teguh, 2013,
Hukum Pidana, Jakarta, PT.
Raja Grafindo Persada
Prodjodikoro Wirjono, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung, , Refika
Aditama.
Purnomo Bambang, 1992, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia.
Schaffmeister,
D, 2007,Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Surabaya.
Soekanto,
Soerjono, 2004, Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
__________,
1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,
Jakarta.
S.R. Sianturi dan E.Y.Kenter, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta ,
Sotria Grafika.
Sunggono,
Bambang, 2006, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sutedi, Adrian,
2006, Peralihan Hak Atas Tanah Dan
Pendaftarannya,
Sinar Grafika, Jakarta.
Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Prestasi Pustakarya.
Tongat, 2002, Hukum Pidana
Materiil, Malang, UMM Press.
Waluyo, Bambang,
2008, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta.
B. Jurnal/Kamus
Poerwadarminta,
W.J.S, 1984, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Kusnu
Goesniadhie S, April 2010, Perspektif Moral Penegakan Hukum Yang Baik, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia, Vol. 17, No. 2
C.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
D.
Website
https://www. id.wikipedia.org/wiki/Surat, diakses,
tanggal, 5 Maret 2016.
http://www.farahatikahgeografitanah.blogspot.co.id/p/pengertiantanah.html, diakses, tanggal 5 Maret 2016.
http://www.hukumonline.com//tindakpidanapemalsuanaktajualbelitanah,
diakses tanggal 28 Juni 2016 pukul 21.00 wib.
https://www.id.wikipedia.org/wiki/ProfilKotaPekanbaru.html, diakses,
tanggal, 20 Juli 2016.
Harrah's Las Vegas, NV Casinos - Mapyro
BalasHapusFind Harrah's 오산 출장안마 Las Vegas, NV casinos, 의정부 출장마사지 restaurants, nightlife, Harrah's Las 진주 출장샵 Vegas Casino & Hotel Address - 남원 출장마사지 Mapyro 경주 출장샵